10 Oktober 2012

Pelangi senja (part I)



Senja, Cinta, Selamannya.
Cerah mentari kian menepi, tatapan nenek pun tak lepas dari taman kosong yang kini kian kotor tak terawat, Lantas nenek tersenyum, sambil meneguk kopi buatannya dia pun mulai mencoba melangkah, bukan ke taman, tapi ke ruang tamu, tangannya yang gemetaran coba meraih album foto tua dengan motif mawar, album itu sudah sangat tua, tapi tak pernah secuil pun debu mengotori celahnnya. Setiap harinnya nenek selalu berduaan dengan benda kesayangannnya ini, kalah senja mulai menyapa, nenek pun langsung bersandar di kursi teras rumah dengan album foto yang didalamnnya tersimpan semua kenangan ketika ambisi masih terbakar, ketika kulit masih kencang berbinar, ketika rambut masih hitam lebat, tapi lebih dari itu, album tua itu berisi semua cerita cinta, yang sampai saat ini tak akan mati. nenek yang telah berumur senja selalu percaya bahwa senja yang hilang akan selalu ada esok hari, itulah yang diyakini nenek, bahwa semua yang telah menua, dan dipikir orang telah usai, sebenarnnya belum usai, bahkan takkan usai, benar adannya, cinta nenek takkan usai, takkan pernah usai.
Lembaran pertama pun dibukannya, wajah lugu sepasang kekasih yang sedang duduk di rerumputan dengan latar rumah sederhana berpagar bambu, tak banyak mimik yang tergambar di wajah mereka, tapi dalam jiwannya, ada cinta sejati yang melebihi dari sejuta mimik. Senja telah tenggelam, nenek pun lantas tak sempat membuka halaman kedua, saya lantas datang menghampiri, nama saya ava, cucu nenek yang tertua.
“nek, mari makan dulu, kakek sudah sedari tadi di meja makan”.
nenek pun lantas beranjak dari bangku tuannya dan berjalan menuju ruang makan, di depan meja makan sedang duduk sosok lelaki gagah yang kepadannya telah nenek berikan hidupnnya, itu adalah kakek , sosoknya tak terlalu ramah, cenderung kaku dan tak banyak bicara, mungkin karena semua hal yang telah dilaluinnya selama hidupnnya, yang kemudian membentuk sosok yang tegas dan berwibawa seperti itu, dulunnya kakek adalah seorang pemuda yang turut serta dalam perang melawan jepang, disaat itu kakek menjadi pemuda hebat idaman semua wanita, apalagi kakek berasal dari keluarga bangsawan. Dengan didikan yang keras, kakek pun menjadi sosok yang seperti sekarang ini, tapi walau demikinan nenek tetap ikhlas mengucapkan janci cinta terhadapnnya, dan nenek terlihat sangat senang dengan hal itu, cincin di jari manisnnya tak pernah sedikitpun dilepas, walau jarinnya mulai keriput yang lantas melonggarkan cincin tersebut, tapi tak pernah sedikitpun terlintas dibenak nenek untuk melepasnnya.
Suasana di meja makan sama seperti biasannya, terkesan formal dan dingin, hanya kakek, nenek, dan saya. saya tidak tinggal bersama orang tua saya, orang tua saya, kerja kantoran di kota, sementara saya bosan dengan suasana kota dan memutuskan untuk tinggal di kampung bersama oma dan opa, lumayanlah, SMA disini cukup bagus, dan siswa-siswanya jauh lebih asik dan ramah dari pada anak-anak kota yang cenderung materialistis.
“sawahnya gimana kek ?” tanya saya coba mencairkan suasana.
kakek pun memandang dingin dan diam sejenak seperti berpikir, maklumlah, seumur hidupnnya kakek selalu beranggapan bahwa tidak baik bicara saat sedang makan, “lumayanlah” jawab kakek singkat.
Melihat kejanggalan yang terjadi, nenek pun menambahkan, “kalau begitu lain kali, kamu tak usahlah kesawah, kamu sudah tua, sudah saatnya beristirahat, sering-seringlah dirumah, temani aku, sudah tiga hari ini asam uratku sering kambuh”
kakek hanya diam dang mengangguk, kakek adalah seorang pekerja keras, sulit rasanya bila sehari saja dia hanya diam dirumah, ketika orang tua lain akan mengeluh sakit ketika banyak bergerak, kakek malah akan sakit jika hanya diam saja dirumah.
Makan malam selesai, kakek dan nenek pun terlihat serasi duduk di depan tv, sambil melihat berapa berita, berapa kali mereka berdua berbicara halnya pasangan suami istri lainnya, saat itu kakek pun terlihat senyum, begitu juga nenek, indahnnya cinta di antara mereka, ternyata dalam dinginnya sikap kakek, dia sangat mencintai dan bahagia hidup bersama nenek.
hari ini hari terakhir liburan, mungkin ada baiknnya bagi saya untuk melakukan sesuatu yang mungkin tak bisa dilakukan di malam-malam berikutnnya, yang pastinnya akan sibuk dengan tugas-tugas, dan latihan-latihan soal untuk ujian nanti, saya kini duduk di kelas tiga, 4 bulan lagi saya akan mengakhiri masa SMA, dan pastinnya ini adalah bulan-bulan terakhir saya di desa ini.
Saya pun mulai menginterogasi isi lemari kakek dan nenek, di dalamnnya banyak berkas-berkas tua, kelihatannya merupakan berkas penting, mungkin akte tanah, atau hal-hal sejenisnnya, tapi di posisi teratas ada sesuatu yang menarik, itu adalah surat pernikahan mereka, wah, surat ini terlihat sangat lusu, kertasnya yang mulai menguning, dan ada sedikit gigitan rayap di tepi kertas, di dalamnnya tertulis nama kakek dan nenek, Roni mulyana dewa, dan Andreina maria, itulah nama lengkap kakek dan nenek, di dalam surat itu terterah tanggal pernikahan mereka, 18-september-1930. Ketika menikah kakek baru berumur 22 tahun, dan nenek berumur 18 tahun. Merupakan usia yang sangat muda, nenek tak mendapat pendidikan yang baik, dia hanya sampai di bangku sekolah dasar, dan di era itu, hal itu sudah cukup mapan, sementara kakek, adalah pemuda pandai, dan berani, sangking beraninnya kakek masih aktif dalam bidang militer bahkan saat dia sudah menikah. Saya lantas sadar, bahwa cinta itu sakral, cinta itu bukan sekedar janji, cinta bukan sekedar ucapan mesra dan kalimat-kalimat sayang, tapi lebih dari itu cinta adalah komitmen, akta nikah ini menjadi saksi betapa cinta kakek dan nenek adalah suci. Pernikahanan itu dianugerahi 3 buah hati, yang pertama adalah seorang lelaki, dia mewarisi sifat kakek yang tegas dan tak banyak bicara, dia ayah saya, kakek dan nenek berhasil membesarkan ayah saya, sampai mengenyam pendidikan yang sangat layak dan cukup untuk menghidupkan keluarga yang bahagia. Ayah saya memiliki 2 adik perempuan, mereka berdua pun berhasil dididik dengan baik oleh kakek nenek, hal itu terlihat dari betapa baiknnya karir mereka berdua saat ini. Tak terelakan lagi, bahwa ada alasan penting yang membuat keluarga ini seberhasil sekarang, hal itu megah tapi sederhana, hal itu suci tapi penuh tawa, hal itu luka tapi bahagia, hal itu beda tapi sama, hal itu diam tapi terdengar, hal itu tak berbentuk tapi terlihat, hal itu CINTA.

_semoga bersambung_